Putus

Aku baru saja selesai mandi ketika hpku berbunyi. Sebuah SMS dari Ivan. Dia memintaku keluar menemuinya di teras rumahku. Pada saat bersamaan Rina masuk ke kamar dan memberitahuku tentang Ivan yang sedang ada di depan. Aku bergegas menyisir rambutku yang setengah kering dan segera berlari menemui Ivan. Ivan segera saja menoleh ketika aku membuka pintu rumah.
    “Ayo jalan bentar, yuk!” Ucapnya.
Aku melirik jamku. Ini sudah jam lima sore, padahal aku ada janji buka puasa bareng cowokku, Fandy. Aku segera berdiri di hadapannya.]
    “Tapi aku ada janji sama teman mau buka bareng”
Ivan menarik lenganku dan melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Sontak aku menarik kembali tanganku.
“Masih ada waktu satu jam lagi. Ayolah sebentar aja. Aku janji.” Ucapnya.
“Aduh Van, bukannya ga mau. Tapi kali ini aku ga bisa, aku udah janji duluan sama temanku. Kamu pulang aja, kapan-kapan kita jalan bareng. Coba kalau kamu duluan bikin janji, pasti aku lebih milih jalan bareng kamu. Bener deh!” ucapku panjang lebar.

“Ayolah, Shell. Aku janji Cuma sebentar aja. Aku mau cerita sedikit sama kamu.”
“Tapi aku takut telat. Kalau mau cerita doang, di sini aja.”
Dia melihatku dengan pandangan kosongnya. Dan kemudian dia menunduk. Rasanya tidak tega, uh aku benci saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana tanpa sengaja aku selalu mengikuti keinginannya.
“Oke, tapi kalau ada sms yang bunyi berarti kamu harus mengantar aku pulang.”
“Oke, kalau hpmu bunyi, kita pulang.” Ucapnya dengan girang dan kemudian segera berjalan mendekati motornya.
“Ayo!” ucapnya saat mesin motornya sudah berbunyi.
Akupun membonceng di belakangnya.

Motor berhenti di tepi jembatan yang sunyi. Terlihat beberapa pasangan sedang berdiri di samping pagar besi pembatas jembatan. Aku segera turun dari motor dan berlari menuju pagar jembatan itu. Angin laut di bawah jembatan itu segera menerpa wajah dan rambutku yang setengah kering. Ivan mengikutiku, dia berdiri di sampingku. Perasaan kuatir telat janjian perlahan menghilang digantikan perasaan sejuk angina laut yang dingin menyelimutiku. Aku memalingkan wajahku untuk melihat wajah Ivan. Terlihat lesu, Ivan mungkin sedang memendam masalah besar. Dan dia mengajakku ke sini agar dia bisa menceritakan, setidaknya itu yang dapat tertebak di pikiranku.
“Kamu janjian buka bareng Fandy, kan?”
Ucapanya segera saja membuatku kaget.
“Ehm.. enggak kok. Kan aku sudah bilang janji bareng teman, masa sih aku berbohong sama kamu?”
Masa sih aku berbohong sama kamu. Kenapa aku harus mengatakan hal itu. Semacam ada hal yang harus terjadi di antara kami, padahal kami tidak memiliki ikatan apa-apa. Dan hal yang terjadi itu seakan telah menciptakan peraturan-peraturan baru di antara kami. Padahal Ivan adalah sahabat dari pacarku, dan kami seharusnya berteman. Berteman yang biasa, bukan berteman yang melampaui batas, melampaui hubunganku dengan Fandy, cowok yang berstatus sebagai pacarku.
“Ga apa-apa kok, emangnya kenapa sih kalau kamu jujur kalau kamu lagi janjian sama Fandy, dia kan pacarmu.” Ucapnya dengan tatapan mengarah ke luasnya laut yang ada di bawah jembatan yang sedang kami injak sekarang.
Dia kan pacarmu. Dan kamu itu adalah sahabat pacarku. Aku tidak seharusnya terlalu dekat dengan kamu. Itu tidak baik. Bisa mengarah ke perselingkuhan. Walau aku kadang merasa senang dengan perhatian Ivan, bukankah itu berarti kalau sebenarnya hatiku sudah selingkuh. Tapi aku segera membela diriku dengan beranggapan kalau aku dan Ivan tidak ada ikatan apa-apa. Tidak ada janji yang istimewa. Tidak ada pernyataan khusus dari Ivan, yang walau sesungguhnya di dasar hatiku sangat menginginkan.
“Ehm, kalau seandainya aku dan Fandy mengajakmu janjian pada saat yang sama. Kamu lebih milih jalan bareng sama siapa?”
Pertanyaaan yang mudah dijawab. Tentu saja aku lebih menuruti ajakan seseorang yang memilliki hubungan lebih dekat denganku. Tapi kemudian aku teringat dnegan perasaan yang selama ini menderaku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku tidak terlalu bersemangat meladeni telpon dari Fandy, dan merasa malas untuk membalas smsnya. Tapi untuk Ivan ada perasaan khusus tertentu yang membuatku selalu mengharapkan perhatian dengan bentuk apapun dari Ivan.
“Pasti kamu lebih milih jalan denganku, ya kan.” Ucapnya sambil tersenyum nakal.
Aku mendengus.
“Kepedean!” timpalku.
Dia tersenyum. Tapi kemudian pandangannya tiba-tiba berubah menjadi serius. Dia berbalik dan memegang kedua lenganku.
“Shell, apa aku masih punya harapan di hati kamu?”
“Apaan sih?” sontakku sambil melepaskan pegangannya. “Aku itu pacar Fandy. Dan aku ga boleh menduakan dia.”
“Shell, tapi jujur, kamu punya perasaan kan sama aku.”
Aku memandang wajahnya sebentar, tapi kemudian segera memalingkan wajahku. Tidak mampu terus-terusan memandang sorot matanya. Tiba-tiba hpku berbunyi. Aku segera merogoh kantungku untuk mengambil hp. SMS dari Fandy, dia sudah di kafe dan sedang menungguku.
“Ingat janji tadi. Hp berbunyi, dan kamu harus mengantar aku pulang.”
“Oke!” ucapnya sambil mengangkat tanganya.
Tapi entah bagaimana dia bisa mengambil hpku dari tanganku. Dia tertawa melihat layer hp.
“Benarkan, kamu janjian bareng Fandy. Kamu memang membohongi aku untuk menjaga perasaaanku.” Ucapnya dengan wajah puas.
Kurebut kembali hpku dari tangannya. Dan kami pun bergegas meninggalkan tempat itu. Dan perasaan girang menyelimuti wajah Ivan. Menjaga perasaaan. Hatiku memang sudah berselingkuh.

Fandy adalah sesosok cowok yang baik juga lucu. Itu adalah hal yang membuatku bisa menyambut cintanya hingga kami hingga detik ini masih menjalin hubungan. Dia bisa membuat perasaanku nyaman dengan celotehannya dan juga yakin kalau dia tidak akan pernah berbohong kepadaku. Dan kini dia sedang duduk di dalam kafe dengan wajah kesalnya. Aku terlambat setengah jam dan waktu buka puasa sudah lewat. Tapi aku tidak punya perasaan bersalah sama sekali. Aku malah sedang berpikir keras bagaimana caranya untuk meluluhkan perasaan kesal Fandy.
“Kok telat?” tanyanya menyambut kedatanganku.
“Tadi habis menemani Mama belanja makan buat buka. Mama belanjanya banyak banget, trus kalau diajak pulang bilangnya bentar, bentar. Jadinya yah, aku telat.” Aku berbicara sesantai mungkin.” Kamu udah pesan makan, lum?” tanyaku berbasa-basi sambil memegang-megang vas mawar yang ada di atas meja kafe.
“Shell, gampang banget kamu berbohong ya.”ucapnya dengan nada tertahan.
Aku kaget dan kemudian pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Apaan sih?” ucapku
“Tadi Rina ngasih tahu yang Ivan datang ke rumahmu.”
Aku segera menunduk.
“Dan dia juga ngasih tahu yang kalian jalan bareng.”
Mati aku. Usai sudah, aku ga nyangka Fandy bisa tahu hal ini.
“Jangan-jangan selama ini kamu terus-terusan gitu ama Ivan. Ada hubungan apa kamu dengan dia?’
Aku mendongak,”Ga ada hubungan apa-apa.”
Dia mendengus. “ Ga nyangka selama ini kamu main belakang sama aku. Pernah ga sih kamu mikirin perasaan aku, Shell. Apa sih aku di dalam pikiranmu?”
Aku semakin diam. Pelayan kafe sibuk menyediakan makanan di atas meja, tapi kami berdua sama-sama diam. Memperhatikan kesibukan pelayan itu dan kemudian suasana hening kembali saat pelayan itu meninggalkan kami. Fandy tiba-tiba mengambil hpku yang tergeletak di atas meja. Aku ingin mencegah, tapi tidak sempat. Kiamat sudah, sms-sms mesra dari Ivan masih tersimpan di inboxku. Daftar panggilan dari Ivan dan durasi-durasinya yang cukup lama. Dan juga kontak Fandy yang tidak sengaja terhapusku kemarin. Dia mencampakkan hpku dan kemudian menatapku dengan pandangan yang menuduh.
“Kamu jahat, Shell. Kamu benar-benar ga menghargai aku.”
Ingatanku kemudian kembali ke masa lalu. Ketika Fandy dengan kerasnya mengejarku, berbagai usaha dilakukannya untuk menaklukkan hatiku. Aku adalah pribadi yang tidak mudah luluh oleh apapun. Aku tau jika aku menerimanya aku tidak akan bisa menjadi pacar yang baik. Dan hal itu terbukti sekarang. Tapi rasa kasihan segera memenangi hatiku. Betapa senangnya Fandy saat aku mau menerima cintanya. Namun kemudian semua hal ini terjadi. Sosok Ivan adalah sosok yang selama ini kuinginkan. Sosok orang yang mau mengerti perasaanku, bisa menerka pikiranku, dan mau melakukan apapun untukku. Bukan sosok cowok yang ada di depanku ini, sosok yang selalu berusaha keras untuk membuat nyata semua yang diinginkannya. Termasuk memenangi hatiku. Dan Fandy, mengenalkan aku dengan sahabatmu Ivan sudah menghancurkan semua usahamu dulu. Maaf jika aku harus jujur. Aku lebih menginginkan Ivan dari apapun. Fandy terus berbicara menuduhku. Memberitahuku tentang apa yang dirasakannya, tentang usahanya mengejarku, dan juga tentang menyesalnya ia mengenalkan aku dengan Ivan.
“Ehm, kalau seandainya aku dan Fandy mengajakmu janjian pada saat yang sama. Kamu lebih milih jalan bareng sama siapa?” Ivan, aku lebih memilih kamu, batinku.
“Ternyata memang harus begini ya? Kenapa sih kamu ga bisa menyukaiku, Shell?”
Aku iba melihat keterpurukan Fandy,
“Fan, kalau kamu kusuruh untuk menyukai temanku, kamu bisa ga?”
“Ya, enggaklah!”
“Begitu juga aku, aku udah berusaha untuk menyukaimu hingga kita masih bisa bertahan hingga sekarang ini, tapi memang aku tidak pernah menyukaimu. Maaf!” ucapku pelan.
Ini waktunya kau bersikap dewasa, Fan. Kamu ga bisa selamanya memaksakan kehendak kepada orang lain.
“Jadi maksud kamu, untuk sekarang ini dan seterusnya kita putus?”
Aku akan senang kalau dia memutuskan hubungan kami. Kontras dengan celotehanku kepada temanku yang aku ga mau diputusin, melainkan memutuskan. Tiba-tiba dia tertawa.
“Seharusnya kamu meminta maaf kepadaku dan berharap hubungan kita nyambung lagi.” Ucapnya sambil tertawa sinis.
“Maaf, tapi aku ga mau menyakiti hati kamu. Aku siap kamu putuskan sekarang juga.”
“Kita putus, dan kamu jadian dengan Ivan. Huh!”
“Aku ga akan setega itu sama kamu. Aku ga akan jadian dengan Ivan sebelum kamu jadian dengan cewek lain. Aku janji.” Ujarku mantap.
Dia terkejut.
“Aku janji” Ucapku lagi
Malam itu kami putus baik-baik. Aku memendam janji yang sangat berat. Tapi aku harus memenuhinya sebagai konsekuensi dari menyakiti hati Fandy.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Someone hurts me

KumCer Uli: "Semua Tentang Goresan Cinta"

Gadis Yang Tak Ku Tahu Namanya