Duh, patah hati


Tahukah kamu kalau sebenarnya aku sangat senang saat mereka mengatai kita berdua berpacaran. Saat mereka tersenyum maklum ketika melihat aku dan kamu berangkat dan pulang bareng, atau sewaktu aku sedang merajuk dan kau berusaha menghiburku. Aku berharap apa yang diledekkan oleh mereka adalah betul adanya. Walau mungkin aku selalu menghindar dan membantah, berusaha keras membalas semua ejekan dan ledekan mereka. Berpura-pura marah dan meninggalkan kelas karena tidak sanggup lagi menghadapi semburan nakal mereka. Aku sebenarnya s e n a n g . . . . . . dan aku sangat  i n g i n itu benar-benar terjadi. Tapi ternyata kamu menghentikan semua ledekan favoritku itu. Kamu akhirnya menjalin hubungan dengan dia. Aku jatuh dan sakit.

    "Fira! " Suara Rio memanggilku tepat saat aku melewati rumahnya.
Aku menoleh, melihatnya sedang terburu-buru mengikat sepatunya dan kemudian menyambar tasnya. Dia berlari menghampiriku.
   "Weh, hari ini kamu pakai jepitan rambut yang merah. Besar pula. Kamu jadi mirip sama tante Susi." ucapnya dengan nafas yang tersengal. Tante Susi adalah seorang wanita penjual pakaian kredit yang selalu berpenampilan glamour. Rio tidak menyukai Tante Susi itu karena wanita itu selalu mengajak mamanya bergosip hingga mamanya lupa waktu.
Aku tidak bersemangat menyikapi ejekannya.
   "Jadi aku harus pakai jepitan yang warna apa? Warna pink yang Dinda biasanya pake?"
Rio terdiam. Aku menundukkan kepalaku. Rio memandangiku. Aku tahu dia sedang berpikir kalau aku lain hari ini.
   "Eh, kok jawabnya kayak gitu."
   "Terserah aku dong. Kamu juga kan terserah mau jadian sama siapa." Ucapku ketus sambil mempercepat jalanku.
   "Eh, Fira tunggu." Ucapnya setelah aku dan dia tidak berjalan sejajar lagi.
   "Aku masih ada pr yang belum selesai. Aku duluan aja ya..." Aku berlari meninggalkannya.
 Terserah dia mau pikir apa tentangku. Yang jelas hatiku sangat sakit dan aku tidak bisa menenteramkannya. Masih terngiang saat Dinda bercerita kalau dia sudah jadian dengan Rio. Kenapa Rio harus menembak Dinda? Apa dia beneran suka dengan Dinda? Dan Dinda menerima Rio, apa Dinda juga suka sama Rio? Iyalah, siapa sih yang ga suka Rio? Cowok yang ramah dan baik, berprestasi dan terkenal di sekolah. Termasuk aku, aku sangat suka dengan Rio yang telah menjadi tetangga seumur hidupku. Aku menoleh ke belakang. Rio tidak memanggilku lagi. Dia sedang berjalan di belakangku. Dia hanya memandangiku. Aku suka kamu, Rio. Kenapa kamu membuat hatiku sakit?
   Aku berusaha menghindar dari Rio. Aku berusaha cuek dan tidak mau tau tentang apa yang dilakukannya. Tapi rasa penasaran yang hebat menyelimutiku saat aku melihat Dinda dan Rio sedang mengobrol dan jalan bareng. Aku ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan, kemana saja mereka pergi dan apa saja yang mereka lakukan. Beberapa kali aku membuntuti mereka. Aku sangat kesal saat melihat Dinda meraih tangan Rio. Dan aku merasa sedih saat Dinda menceritakan tentang saat mereka menonton konser musik bersama.
  Dan aku tidak pernah lagi pulang bareng dengan Rio. Aku sedang membereskan buku-bukuku dan Rio datang.
   "Fira, buru-buru banget kelihatannya." ucap Rio.
   "Iya, aku ada janji sama Fiona mau nemenin dia belanja buku." ucapku tanpa melihat wajahnya.
   "Oh, padahal aku mau minta kamu temanin aku latihan."
   "Kok ga minta sama Dinda? Dia kan pacar kamu." Ucapku pelan, tapi mungkin terdengar ketus.
Rio mendehem kecil.
   "Dia ada latihan vokal grup."
   "Ooo.."
   "Jadi kamu ga bisa nemenin aku?'
   "Ga bisa Rio, maaf."
Fiona kemudian muncul di depan pintu kelas.
   "Fira, cepetan dong! Nanti promo novelnya keburu abis."
   "Iya, sebentar. Udah mau kelar nih." Aku kesulitan mengumpulkan memasukkan buku kimiaku yang besar ke dalam tas."
  "Fiona, bisa berangkat sendiri, ga? Fira ada perlu sama aku." Ucap Rio tiba-tiba.
Aku terkejut. Fiona juga sedikit terkejut. Tapi dia segera mengangguk dan pergi meninggalkan kami.
  "Apa-apaan sih. Aku udah janji sama Fiona mau menemani dia. Kamu main suruh orang pergi aja."
Aku menggandeng tas ku dan hendak beranjak pergi.
  "Fiona, tunggu!" teriakku keras tapi tiba-tiba Rio menutup mulutku dengan tangannya.
  "Apa-apaan sih?" Ucapku kesal sambil melepaskan tangannya.
  "Kamu kok gitu sih sama aku?" tanyanya dengan suara yang keras.
  "Gitu gimana? Aku ga pernah menjahati kamu. Kamu yang aneh."
  "Kamu udah sombong sekarang, ya."
  "Sombong gimana? Aku berlaku wajar, kamunya aja yang sinting."
  "Kamu udah ga mau lagi berangkat pulang bareng, sok ga dengar kalau aku panggil, trus banyak alasan kalau mau diajak."
  "Kenapa aku harus bareng sama kamu terus, kenapa aku harus mau kalau kamu ajak, hah?"
 Rio terdiam.
   "Kamu udah lain sekarang, Fir.." ucapnya pelan.
Dia seenaknya bilang aku lain, padahal dialah yang membuat aku harus bersikap demikian.
  "Kamu yang lain, Rio. Kamu udah punya pacar. Aku tidak boleh dekat sama kamu lagi. Kamu udah ga butuh aku lagi. Sekarang statusnya udah lain. Aku tidak sombong, tapi kamu itu udah punya Dinda. Ngapain kamu minta ditemanin sama aku, aku kan bukan siapa-siapa kamu."
   "Jadi aku harus mutusin Dinda supaya kamu mau nemanin aku lagi?'
   "Apa-apaan sih kamu, Rio. Kamu ga boleh seenaknya jadian dan putus begitu saja."
   "Kalau itu bisa mengembalikan kamu lagi?"
   "Kamu aneh, Rio. Aku tidak mau berteman sama kamu lagi. Kamu kan suka sama Dinda makanya kamu jadian sama dia, dan sekarang kamu mau mutusin dia cuma karena aku ga mau nemanin kamu?"
   "Siapa bilang aku suka sama Dinda?"
   "Trus ngapain kamu jadian sama dia?"
  "Kalau itu bisa brentiin ejekan mereka sama kita. Aku liat kamu terganggu kalau mereka bilang kita ini pacaran. Dinda bilang dia suka sama aku dan dia ingin aku jadi pacarnya. Kami jadian, dan ledekan itu benar-benar brenti. Ah, terserahlah. Aku mungkin tidak usah mengatakan alasannya sama kamu. Aku tidak mau membahas ini lagi. Kalau kamu memilih untuk menemani Fiona, cepat gih susul dia. Aku ga akan minta kamu lagi buat nemanin aku."
Rio menggeserkan badannya dan memberiku jalan keluar dari meja. Perlahan Rio menundukkan kepalanya dan rahangnya mengeras. Badannya agak membungkuk. Ekspresi yang sama ketika dia kehilangan ayahnya. Aku yang dulu menemaninya di rumah sakit pada hari yang kelam itu. Rio kecil berkata padaku. " Fira, kamu janji ya, kamu harus temani aku terus. Kamu jangan kayak papa, pergi ninggalin Rio." Dan aku menjawab, "Iya, aku akan selalu temanin Rio. Kemanapun Rio pergi."
Aku telah memenuhi janji itu itu hingga kemudian aku menjauhi dia karena dia jadian dengan Dinda. Rio masih menunduk. Aku menyandangkan tasku dan berbisik kepadanya, "Rio, aku akan selalu temanin kamu. Kemanapun Rio pergi. Sekarang aku tunggu kamu di lapangan, kamu ambil tas kamu dulu ya. Aku ga peduli kalau Dinda itu sekarang udah jadi pacar kamu, aku harus penuhi janji aku."
Rio mendongak. Dia menggenggam bahuku kuat. Dan kemudian dia berlari ke mejanya untuk mengambil tasnya.
   "Besok aku akan mutusin Dinda." ucapnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Someone hurts me

KumCer Uli: "Semua Tentang Goresan Cinta"

Gadis Yang Tak Ku Tahu Namanya